Satu artikel menarik di majalah mingguan Newsweek tampak langsung menjerat perhatian saya, ketika pertama kali membacanya. Judul tulisan tersebut adalah Teaching Humanity, karya dari Nussbaum, seorang professor Hukum dan Etika di Universitas Chicago. Artikel tersebut menekankan betapa pentingnya pendidikan kemanusiaan di era globalisasi ini. Ditengah orang-orang dengan pola pikir bahwa pendidikan yang terpenting adalah menghasilkan uang, tulisan Nussbaum ini tampak menjadi semacam oasis bagi orang-orang merindukan cita-cita awal dan paling dasar dari pendidikan, yakni kemanusiaan.
Kembali ke Cita-cita Awal
Harus diakui, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup bersama kita, termasuk pendidikan, pun diarahkan melulu pada motif tersebut.
Fakultas yang menjadi prioritas utama adalah fakultas teknik dan sains, karena dianggap dapat membawa keuntungan langsung jangka pendek yang kasat mata bagi bangsa, dan terutama bagi pribadi.
Saya tidak ada masalah dengan pendidikan sains dan teknik yang baik, dan saya juga tidak mau menyarankan agar negara menghentikan proses pengembangan dua bidang tersebut. Akan tetapi, saya khawatir, bahwa pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia, yang sebenarnya sangatlah penting dan signifikan, akan kehilangan kompetisi dan kompetensinya, sehingga kualitasnya menurun.
Pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”.
Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita untuk dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan publik di negara-negara (negara-kota) Yunani Kuno, seperti Athena, sekaligus juga merupakan elemen kunci bagi demokrasi Yunani Kuno.
Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern di negara-negara Barat ataupun non-barat, seperti yang telah diungkapkan John Dewey dan Rabindranath Tagore, yang sangat menekankan pentingnya pendidikan seni. Salah satu cara terbaik untuk mengembangkan rasa simpati seseorang adalah melalui pendidikan musik, analisa literatur-literatur sastra, theater, serta pendidikan seni menari.
Setiap kebudayaan memiliki titik lemahnya sendiri didalam memandang keberagaman, yakni eksistensi kelompok, baik didalam ataupun diluar kebudayaan tersebut, yang dipandang rendah, dan diperlakukan secara diskriminatif. Pendidikan kemanusiaan yang baik akan memilih cara mendidik yang mampu membangun pemikiran kritis terhadap kejanggalan semacam ini, dan memberikan perspektif menyeluruh yang mungkin sebelumnya tidak terlihat.
Ralph Ellson, didalam novelnya yang berjudul Invisible Man, menulis, “Novel semacam ini dapat membentuk persepsi, harapan, sekaligus hiburan,” dimana, “kita bisa melawan semua halangan yang mengancam perwujudan cita-cita demokrasi kita yang luhur.” Melalui daya imajinasi dari membaca novel-novel bermutu, kita bisa mendapatkan inspirasi tentang pengalaman kelompok lain yang tersingkirkan, yang sebenarnya sulit untuk didapatkan didalam hidup sehari-hari, terutama ketika kehidupan bersama kita diwarnai oleh kecurigaan, prasangka, dan dendam, yang membuat sikap simpati menjadi sulit terbentuk.
Untuk melatih “kepekaan” para siswa, kita harus secara hati-hati memberikan masukan-masukan dalam bentuk seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, yang akan membawa siswa berkontak dengan isu-isu yang krusial, seperti gender, ras, etnisitas, serta relasi antara kebudayaan yang berbeda. Pendidikan seni juga dapat membentuk siswa menjadi peka, baik terhadap kebebasan ekspresi pribadinya, dan harmonisasi komunitas hidupnya.
Pelonggar Saraf
Didalam seni, semua orang adalah setara. Tidak ada hirarki.
Model semacan itulah yang akan membantu orang untuk responsif dan interaktif didalam kehidupan politik berdemokrasi. Disamping itu, seni dapat menjadi sumber kebahagiaan, yang dapat mencerahkan hidup diri terkait maupun sekitarnya.
Lebih dari itu, elemen yang mampu menciptakan rasa kebahagiaan ini dapat membantu masyarakat untuk menapaki problematika pelik mereka tanpa dipengaruhi prasangka dan kecemasan yang berlebihan. Seperti yang telah banyak dipraktekkan oleh para seniman di Russia, seni, dengan memberikan rasa nikmat dan kebahagiaan bagi proses kritis terhadap ketidakadilan, memberikan sebentuk dialog yang atraktif, bertahan lama, dengan problem masyarakat sert kekejaman dimasa lalu mereka, daripada argumentasi serta perdebatan rasional, yang seringkali membuat otak menjadi panas.
Seni membuat orang menjadi dingin dan “longgar” didalam berhadapan dengan problematika hidupnya. Begitu pula dengan masyarakat, yang akan menjadi dingin dan lebih “longgar”, ketika berhadapan dengan problematika kolektif mereka yang pelik, baik dimasa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Seni, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Demokrasi memiliki kekuatan imaginatif sekaligus rasional yang sangat besar. Akan tetapi, demokrasi juga rawan dengan irasionalitas mayoritas, kegopohan, egoisme, dan kecerobohan. Pendidikan yang melulu dipusatkan untuk mencari keuntungan ekonomi dipasar bebas global akan meningkatkan sisi buruk dari demokrasi tersebut, sekaligus mengancam akar-akar dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Kita harus membuka ruang yang lebih lebar bagi pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis masyarakat, membentuk perspektif dan pemahaman yang menyeluruh tentang dunia tempat kita hidup, serta meningkatkan rasa simpati kita terhadap penderitaan orang lain. Jika kita menutup ruang bagi pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, semua cita-cita luhur tersebut akan kandas.
Nussbaum menulis hal yang baik sekali tentang hal ini, “Memang, terkadang pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menghasilkan banyak uang. Tetapi, kedua hal tersebut menghasilkan hal yang jauh lebih berharga, yakni membuat hidup kita lebih bermakna untuk dijalani.” (Nussbaum, 2006)
artikel aku baca dan ku kutip dan ku salin dari sini
Seni, Kemanusiaan, dan Pendidikan
Artikel tersebut menekankan betapa pentingnya pendidikan kemanusiaan di era globalisasi ini. Ditengah orang-orang dengan pola pikir bahwa pendidikan yang terpenting adalah menghasilkan uang, tulisan Nussbaum ini tampak menjadi semacam oasis bagi orang-orang merindukan cita-cita awal dan paling dasar dari pendidikan, yakni kemanusiaan.
Kembali ke Cita-cita Awal
Harus diakui, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup bersama kita, termasuk pendidikan, pun diarahkan melulu pada motif tersebut.
Fakultas yang menjadi prioritas utama adalah fakultas teknik dan sains, karena dianggap dapat membawa keuntungan langsung jangka pendek yang kasat mata bagi bangsa, dan terutama bagi pribadi.
Saya tidak ada masalah dengan pendidikan sains dan teknik yang baik, dan saya juga tidak mau menyarankan agar negara menghentikan proses pengembangan dua bidang tersebut. Akan tetapi, saya khawatir, bahwa pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia, yang sebenarnya sangatlah penting dan signifikan, akan kehilangan kompetisi dan kompetensinya, sehingga kualitasnya menurun.
Pendidikan dimensi-dimensi lain didalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”.
Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita untuk dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan publik di negara-negara (negara-kota) Yunani Kuno, seperti Athena, sekaligus juga merupakan elemen kunci bagi demokrasi Yunani Kuno.
Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern di negara-negara Barat ataupun non-barat, seperti yang telah diungkapkan John Dewey dan Rabindranath Tagore, yang sangat menekankan pentingnya pendidikan seni. Salah satu cara terbaik untuk mengembangkan rasa simpati seseorang adalah melalui pendidikan musik, analisa literatur-literatur sastra, theater, serta pendidikan seni menari.
Setiap kebudayaan memiliki titik lemahnya sendiri didalam memandang keberagaman, yakni eksistensi kelompok, baik didalam ataupun diluar kebudayaan tersebut, yang dipandang rendah, dan diperlakukan secara diskriminatif. Pendidikan kemanusiaan yang baik akan memilih cara mendidik yang mampu membangun pemikiran kritis terhadap kejanggalan semacam ini, dan memberikan perspektif menyeluruh yang mungkin sebelumnya tidak terlihat.
Ralph Ellson, didalam novelnya yang berjudul Invisible Man, menulis, “Novel semacam ini dapat membentuk persepsi, harapan, sekaligus hiburan,” dimana, “kita bisa melawan semua halangan yang mengancam perwujudan cita-cita demokrasi kita yang luhur.” Melalui daya imajinasi dari membaca novel-novel bermutu, kita bisa mendapatkan inspirasi tentang pengalaman kelompok lain yang tersingkirkan, yang sebenarnya sulit untuk didapatkan didalam hidup sehari-hari, terutama ketika kehidupan bersama kita diwarnai oleh kecurigaan, prasangka, dan dendam, yang membuat sikap simpati menjadi sulit terbentuk.
Untuk melatih “kepekaan” para siswa, kita harus secara hati-hati memberikan masukan-masukan dalam bentuk seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, yang akan membawa siswa berkontak dengan isu-isu yang krusial, seperti gender, ras, etnisitas, serta relasi antara kebudayaan yang berbeda. Pendidikan seni juga dapat membentuk siswa menjadi peka, baik terhadap kebebasan ekspresi pribadinya, dan harmonisasi komunitas hidupnya.
Pelonggar Saraf
Didalam seni, semua orang adalah setara. Tidak ada hirarki.
Model semacan itulah yang akan membantu orang untuk responsif dan interaktif didalam kehidupan politik berdemokrasi. Disamping itu, seni dapat menjadi sumber kebahagiaan, yang dapat mencerahkan hidup diri terkait maupun sekitarnya.
Lebih dari itu, elemen yang mampu menciptakan rasa kebahagiaan ini dapat membantu masyarakat untuk menapaki problematika pelik mereka tanpa dipengaruhi prasangka dan kecemasan yang berlebihan. Seperti yang telah banyak dipraktekkan oleh para seniman di Russia, seni, dengan memberikan rasa nikmat dan kebahagiaan bagi proses kritis terhadap ketidakadilan, memberikan sebentuk dialog yang atraktif, bertahan lama, dengan problem masyarakat sert kekejaman dimasa lalu mereka, daripada argumentasi serta perdebatan rasional, yang seringkali membuat otak menjadi panas.
Seni membuat orang menjadi dingin dan “longgar” didalam berhadapan dengan problematika hidupnya. Begitu pula dengan masyarakat, yang akan menjadi dingin dan lebih “longgar”, ketika berhadapan dengan problematika kolektif mereka yang pelik, baik dimasa lalu, masa kini, maupun masa depan.
Seni, Kemanusiaan, dan Demokrasi
Demokrasi memiliki kekuatan imaginatif sekaligus rasional yang sangat besar. Akan tetapi, demokrasi juga rawan dengan irasionalitas mayoritas, kegopohan, egoisme, dan kecerobohan. Pendidikan yang melulu dipusatkan untuk mencari keuntungan ekonomi dipasar bebas global akan meningkatkan sisi buruk dari demokrasi tersebut, sekaligus mengancam akar-akar dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Kita harus membuka ruang yang lebih lebar bagi pendidikan yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis masyarakat, membentuk perspektif dan pemahaman yang menyeluruh tentang dunia tempat kita hidup, serta meningkatkan rasa simpati kita terhadap penderitaan orang lain. Jika kita menutup ruang bagi pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan, semua cita-cita luhur tersebut akan kandas.
Nussbaum menulis hal yang baik sekali tentang hal ini, “Memang, terkadang pendidikan seni dan ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menghasilkan banyak uang. Tetapi, kedua hal tersebut menghasilkan hal yang jauh lebih berharga, yakni membuat hidup kita lebih bermakna untuk dijalani.” (Nussbaum, 2006)